[vc_row][vc_column width=”2/3″][vc_column_text]
Beberapa tahun terakhir ini banyak berkembang wahana wisata yang membawa nuansa luar negeri suatu kota di Indonesia. Tujuannya adalah menarik wisatawan domestik terutama yang belum pernah ke luar negeri, sehingga seolah-olah mereka dapat menikmati suasana di negara-negara asing tersebut, namanya wisata replika.
Di satu sisi, sedikit banyak masyarakat jadi tahu ikon-ikon dari berbagai negara walau dalam bentuk tiruan atau replika. Tetapi di sisi lain, kita hanya bermodalkan selfie, memakai kostum ala-ala negara asal, lalu upload Instagram.Wisata replika tentu saja ada sisi positif negatifnya.
Sisi positif Wisata Replika
Menjadi icon baru di suatu kota atau wilayah, sehingga masyarakat tertarik untuk datang ke kota tersebut. Berikut beberapa contoh wisata replika di Indonesia:
“Arc de Triomph” Simpang Lima Gumul, Kediri
Aslinya Arc de Triomph di Paris artinya Gapura Kemenangan, terletak di persimpangan yang berbentuk bintang lima. Berbeda dengan Arc de Triomph di Paris yang didirikan tahun 1800-an, kembarannya di Kediri dibangun tahun 2003. Terletak di persimpangan jalan dari Pare, Kediri, Plosoklaten, dan Menang. Ikon ini memang menjadi landmark baru kota Kediri, dengan detail sejarah berdirinya kota Kediri pada reliefnya.
The Great Asia Afrika, Lembang
Baru diresmikan awal Desember 2019, obyek wisata ini menjanjikan wisata budaya ke tujuh negara di Asia dan Afrika. Wisatawan diajak berkunjung mengitari tujuh miniatur kampung tradisional di Korea, Thailand, India, Jepang, Indonesia, Afrika, dan Timur Tengah. Tak lama sesudah peresmian, obyek ini dibanjiri oleh ribuan wisatawan, yang datang sebagai karena rasa ingin tahu. Selang beberapa bulan kemudian, kawasan ini mengundang kontroversi pendapat ahli lingkungan. Besar kemungkinan wahana wisata ini dibangun di lereng yang mengancam pelestarian lingkungan.
Landmarks Dunia di Merapi Park, Yogyakarta
Dinamakan Merapi Park The World Landmark, letaknya di jalan Kaliurang km 22, Kabupaten Sleman, D.I.Yogyakarta. Seperti halnya wisata replika di tempat lain, maka ada beberapa spot foto di tempat ini yang menunjukkan landmark dunia, yaitu: Brandenburg Gate-Berlin, Menara Miring-Piza, Menara Eiffel-Paris, Big Ben-London, Patung Liberty-USA, Kincir Angin-Belanda, Pagoda, New York Sculpture, Burj al Arab, Abu Dhabi, dan Indian Village.
Tiga replika tersebut baru beberapa contoh saja dari replika-replika yang menjadi tujuan wisata baru di suatu daerah. Masih banyak replika lainnya di beberapa obyek wisata, misalnya replika Little Venice-Cianjur, atau Menara Eiffel di Little Erope, Lampung.
Ternyata wisata replika tidak terjadi di Indonesia saja, tetapi juga di negara-negara lain. Misalnya tiruan Menara Eiffel di kota Tianducheng, China. Di Tianducheng, wisatawan bukan hanya menjumpai replika Menara Eiffel tetapi seluruh kawasan dan lingkungan yang mirip di kota Paris. Sehingga fenomena di Tianducheng disebut sebagai duplitecture, kependekan dari duplicate architecture.
Seluruh bangunan tersebut dihuni, dan warga setempat biasa-biasa saja dengan kondisi wilayah kotanya. Berbeda dengan perasaan seorang fotografer asal Paris, Francois Post. Post sengaja datang ke Tianducheng, ada perasaan kenal sekaligus tak kenal setibanya di sana.
Sisi negatif Wisata Replika
Namanya juga tiruan, tentunya tidak akan sama dengan yang asli. Kepuasan berfoto di depan Arc de Triomph asli tentu berbeda dengan berfoto depan replikanya. Framing foto mungkin bisa dibuat ala-ala, supaya mirip aslinya.
Secara wawasan pelaku wisata tidak bertambah pengetahuannya tentang obyek tersebut, misalnya latar belakang sejarah, kawasan kota, maupun senimannya. Bagi wisatawan yang menyempatkan jalan-jalan, ada kepuasan berbeda berada di negara aslinya daripada hanya sekedar foto di depan replikanya. Untuk sampai ke negeri yang ribuan kilometer jauhnya dari negeri sendiri tentu berbeda perjuangannya.
Dari segi devisa negara, wisata replika sepertinya tidak mendatangkan turis asing ke Indonesia. Apalagi replika-replika yang dibuat tersebut skalanya lebih kecil daripada aslinya. Turis manca negara tentu saja akan mencari kekhasan daerah yang dikunjungi.
Turis Jepang ke Indonesia mungkin lebih memilih ke Situ Patengang atau Kawah Putih di Ciwidey daripada ke replika kampung Jepang di The Great Asia Afrika, Lembang.
Wisata replika mungkin hanya menggiurkan bagi warga sekitar dan ramai saat pembukaan saja. Contohnya Asia-Afrika di Lembang sampai membuat macet sepanjang 3 km, karena banyak warga penasaran.
Sebetulnya Indonesia kaya dengan obyek wisata, alamnya beragam dari wisata pantai-gunung-lembah, adat-budaya, kuliner, dan lainnya yang lebih menantang untuk dikembangkan. Obyek wisata setempat yang dikembangkan lebih berpotensi meningkatkan sektor pendapatan daerah dan melibatkan masyarakat sekitar.
Wisata Virtual
Tahun 2020 ini pandemi menyerang hampir seluruh dunia. Beberapa sektor usaha jeblok, termasuk pariwisata. Mau wisata sungguhan ke tempat aslinya maupun wisata replika sama-sama tidak ada pengunjungnya. Semua tempat wisata memang ditutup.
Tetapi hal ini tidak mengurangi akal pengelola Museum di beberapa negara. Lihat saja, thetravelandleisure.com, menawarkan wisata virtual ke 12 museum terkenal dunia.
Berwisata sejatinya merupakan aktivitas seru melepaskan kepenatan sehari-hari. Setelah sekian lama hanya bekerja dan belajar, bolehlah sesekali jalan-jalan. Apa boleh buat, nampaknya kita masih harus menahan diri untuk ke luar rumah, sampai kondisi betul-betul aman. Nah, kalau sudah aman, kira-kira memilih ke mana? Wisata ke negara asal atau wisata replika?
[/vc_column_text][vc_hoverbox image=”4619″ primary_title=”Tentang Penulis” primary_title_font_container=”color:%23f7f440″ primary_title_google_fonts=”font_family:Aclonica%3Aregular|font_style:400%20regular%3A400%3Anormal” primary_title_css_animation=”none” hover_title=”Artikel ini ditulis oleh Tri Wahyu Handayani” hover_background_color=”peacoc” css_animation=”none” use_custom_fonts_primary_title=”true”]
Deskripsi Penulis:
Lebih sering dipanggil Hani. Pengajar di perguruan tinggi swasta di Bandung pada program studi Arsitektur. Penulis buku nonfiksi dan mengelola blog pribadi di haniwidiatmoko.com, visualbuku.my.id, dan blog lain dengan niche berbeda.
Media Sosial:
FB: https://www.facebook.com/handayani.widiatmoko
IG: https://www.instagram.com/haniabd
Twitter: https://www.twitter.com/haniwidiatmoko
[/vc_hoverbox][/vc_column][vc_column width=”1/3″][/vc_column][/vc_row]
wah terima kasih, artikel ini sangat menarik dan bisa dijadikan penelitian lebih lanjut.
Aku langsung fokus ke pembahasan sisi negatif wisata replika. Ternyata ada ya, setelah dipikir iya juga ya, bener. Nah, kalo disuruh milih mau wisata ke negara asalnya atau wisata replika, tentu donk maunya ke negara asal. Itu kesannya mendalam dan ga selewat aja seperti wisata replika